Showing posts with label aku dan hujan. Show all posts
Showing posts with label aku dan hujan. Show all posts

Jun 24, 2010

Balade Pour Adaline

0 komentar
Sambil mendengarkan Balade Pour Adaline milik Richard Clayderman, aku terpekur. Aku sembunyikan wajahku di balik kedua telapak tanganku sambil mencoba bernafas dengan nyaman. Kali ini, aku tengah memikirkan ide untuk mati. Mati saja meninggalkan dunia fana yang menyesakkan. Kalau aku boleh turutkan sisi terburuk dalam diriku, harus kuakui, hidup sangat tidak menyenangkan. Kalau seperti ini, ingin bernafas pun jadi susah. Jadi, lebih baik mati kan?

"Richard Clayderman... dia luar biasa bukan?"

Aku terperanjat. "Hujan?"

Ia tersenyum simpul. Kemudian menghampiriku, duduk di sampingku, ikut menikmati Balade Pour Adaline.

"Kau sedang apa di sini?" aku bertanya.

"Aku sedang mencarimu. Jadi sengaja aku ke sini."

"Oooh..."

"Kau kenapa?"

"Tidak kenapa-kenapa. Hanya sedang berpikir. Itu saja."

Ia membelai rambutku lembut. Aku menoleh ke arahnya, dan tersenyum.

"Makasih..."

Ia mengernyitkan dahi. "Buat?"

Aku memandangnya gemas, kemudian memeluknya. "Kenapa sih kamu itu sangat hangat, padahal kamu kan basah?"

"Apa?" Ia tak mengerti.

"Terimakasih karena selalu bisa menghangatkan jiwaku. Aku... aku akan pertimbangkan lagi ide tentang mati itu."

Ia melepaskan pelukanku, dan memandangku lekat-lekat. "Ayo kita pejamkan mata!"

"Eh???"

"Pejamkan mata, lalu bernafaslah. Kita lakukan itu sepuluh menit saja dalam diam, biarkan Pour Adaline meresap ke dalam diri kita. Mulai!"

Aku baru akan membuka mulut untuk protes, sebelum akhirnya ia memejamkan matanya.

"Jangan lihat aku. Pejamkan matamu..." hardiknya.

Aku pejamkan mataku, dan melakukan apa yang ia suruh. Baru tiga menit berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Aku pun menangis di sampingnya yang sedang menikmati hembusan nafasnya. Hanya menangis. Menangis pelan karena ditelan Pour Adaline. Menangis karena aku baru tahu, begitu nikmatnya bernafas.

Kamis, 08:07 a.m

May 30, 2010

Bulan, Bintang, dan Senja (teman-teman hebat!!!)

0 komentar
Aku suka bercakap-cakap dengan sang bintang. Kau tahu? Hampir setiap malam aku mengobrol dengannya. Mengobrol tentang banyak hal. Baru-baru ini aku bicara tentang seorang Pemuda Piano dengannya.

Bintang: "Dia hebat, tampan, dan rupawan. Permainan pianonya bagus."
Aku: "Yeah, aku tahu."

Kami terdiam.

Bintang: "Dan sepertinya..."

Aku memandangnya lekat-lekat ketika ia tiba-tiba berhenti bicara.

Bintang: "... sepertinya ia menyukaimu."

Aku pun tertawa. Meski demikian, dalam hati, aku mengamini. Sebab aku juga menyukai Pemuda Piano itu.

Demikianlah percakapanku dengan Bintang. Selain dengan Bintang, aku juga senang mengobrol dengan Hujan. Jujur saja, mengobrol dengannya membuatku merasa sangat nyaman. Ketika mengobrol dengan Bintang dan Bulan, aku yang selalu mendengarkan. Tapi ketika aku bersama Hujan, ialah yang mendengarkan aku. Aku senang berkeluh kesah padanya, dan menunjukkan kegalauan hatiku padanya.

Aku: "Doakan aku hujan. Besok adalah hari penentuan itu."

Kataku sore tadi padanya. Ia hanya menimpali dengan senyum yang bermakna, "Pasti!"

Aku: "Kau tahu? Aku sangat ingin itu. Hhh, aku tak pernah merasakan perasaan seingin ini terhadap sesuatu!"

Hujan: "Iya..."

Aku: "Aku benar-benar ingin itu. Dan aku begitu berharap Tuhan memperkenankannya."

Hujan pun lagi-lagi hanya tersenyum. Dan kemudian, aku menangis.

Aku: "Bagaimana lagi aku harus memantaskan diriku di hadapan-Nya??? Sungguh aku tidak tahu, Hujan..."

Aku merasakan tatapan tajamnya padaku.

Aku: "Aku tahu, aku terlalu banyak meminta pada-Nya, sementara aku juga tahu, aku begitu tak tahu diri di hadapan-Nya. Namun, aku masih memiliki harapan dan keinginan, Hujan!!!"

Aku: "Aku mungkin belum melakukan yang terbaik, tapi aku bersumpah, hanya itu usaha termaksimal yang bisa aku lakukan. Aku sungguh tidak tahu lagi Hujan. Aku takut menanti hari esok..."

Lama Hujan terdiam.

Hujan: "Aku mengerti, sangat mengerti. Tapi kau jangan lupa, Ia lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Ia jauh lebih tahu, mana yang pantas untukmu, dan mana yang kau butuhkan. Ia tidak bodoh! Percayalah. Asalkan kau yakin pada-Nya, apapun yang terjadi, kau akan baik-baik saja, dan kau akan selalu bisa tersenyum. Oke???"

Bulan dan Bintang pun datang menghampiri kami. Mereka memelukku.

Bulan dan Bintang: "Kami mendoakanmu. Tenang saja... Kau akan bahagia."

Sekarang, dengan perasaan yang lebih tenang (tapi tetap khawatir), aku mencoba memberanikan diriku dalam menghadapi hari keputusan besok. Aku harus kuat. Tidak boleh takut. Aku harus percaya bahwa Tuhan akan melapangkan dadaku dan membesarkan hatiku ketika semuanya tidak lagi sejalan.

Hhh... Aku pasrah. Pasrah padaMu Tuhan...

(Masih dalam rangka memperingati detik-detik pengumuman SIMAK UI 2010)

Aku dan Sang Hujan

0 komentar
Pagi ini aku termangu di taman bunga. Aku tidur terlentang sambil memandang Langit. Kemudian sang hujan datang menghampiriku.

Hujan: "Bagaimana? Sudah kau tahu hasilnya?

Aku: "Belum. Sebentar lagi."

Hujan: "Kau masih takut?"

Aku: "Ya, aku takut. Tadi, temanku, si Domba cerdas, cerita banyak tentang padang rumput kuning itu. Aku tahu Hujan, bukan hanya aku yg ingin ke sana. Ia juga..."

Hujan terdiam.

Aku: "Aku ingin ke sana dengannya hujan. Ingin sekali..."

(memperingati detik-detik menjelang pengumuman SIMAK UI tahun 2010)

Hujan: "Aku tahu."

Ia kembali terdiam.

Hujan: "Berdoalah. Semoga Ia memberi kesempatan pada kalian untuk dapat menikmati rumput kuning di sana."

Aku: "Ya... Semoga..."

(memperingati detik-detik pengumuman SIMAK UI 2010)

Kabar Baik di Pagi Hari dari Sang Hujan ^ ^

0 komentar
Aku menghampiri sang hujan yang tengah bersembunyi di peraduannya. Ia menoleh ke arahku. Matanya seperti bertanya padaku, "Bagaimana?"

Hujan tersenyum. Aku hanya memandangnya lekat. Lama kami saling memandang dan tenggelam dalam bisu.

Aku pun akhirnya tersenyum.

"Aku, sepertinya harus mulai melupakan padang rumput kuning itu, Hujan."

Hujan menatapku dengan tatapan yang tak mampu aku artikan. Tatapannya menghujam ke relung hati, buatku merinding, namun menimbulkan kehangatan di dalam sini. Tiba-tiba ia memelukku dan membelaiku di dalam dekapannya. Aku merasakan dinginnya basah dan juga kehangatan.

"Akan ada gantinya," ucapnya lirih. "Ada sesuatu yang indah yang sedang menanti di hadapanmu sekarang. Tetap semangat!"

Mendengar ucapannya buatku semakin erat mendekapnya.

"Ya, aku tahu. Terimakasih..."

Sparkling Castle

0 komentar
Tengah malam, dan hujan telah berhenti menyapa.

Aku suka berteman dengan sang hujan, sebab ia dan petuahnya begitu menyejukan. Aku beruntung berteman dengan sang hujan, sebab di kala aku butuh kehangatan ia ada dan menyediakannya meski ia sendiri basah.

"Tuhan selalu menginginkan sesuatu dari kita. Bukan untuk diriNya, tapi untuk diri kita sendiri," ia berujar beberapa saat sebelum ia pergi.

"Maksudnya?" aku bertanya.

"Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Terkadang yang kita butuhkan adalah belajar. Belajar untuk ikhlas. Mungkin inilah yang Tuhan ingin kau lakukan terhadap dirimu. Cobalah lihat sekeliling! Betapa banyak orang-orang tidak beruntung, dan kau akan melihat sendiri, sungguh beruntungnya dirimu. Benar tidak?"

Aku mengangguk.

"Terkadang, hal-hal seperti itulah yang lebih berarti."

Ah, hujan...

"Dan memang seperti itulah hidup. Kelihatan kita seperti berkorban, padahal kita sedang membangun sebuah istana megah..."

Dan hujan pun pergi...

Padang Rumput Kuning

0 komentar
Hatiku masih galau. Meski aku telah berusaha untuk ikhlas, aku entah mengapa masih mengingatnya diam-diam. Rasa sakit yang dulu aku rasa, tiba-tiba sekarang terasa. Padang rumput kuning itu, indahnya masih menghantuiku. Aku jadi ingin menangis. Padahal kemarin aku tidak menangis. Dan sang hujan pun merasakan kegalauan hatiku ini.

"Aku tahu, jika hatimu gundah, langit akan kelabu. Makanya, aku tahu..." ucapnya.

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Lalu kesenyapan menyelimuti kami. Hanya alunan piano dari balik piring hitam itu yang terdengar.

"Kau pernah bilang padaku bahwa kita tidak boleh membatasi usaha kita untuk meraih mimpi,"

"Iya?"

"Lantas, haruskah aku tetap mengejar padang rumput kuning itu?"

Belum sempat hujan menjawab. Namun aku telah berteriak padanya.

"Bagaimana lagi aku harus ke sana?!"

"Bolehkah aku mengejarnya?"

Hujan tersenyum.

"Kau hanya butuh waktu untuk menerima. Tapi kau selalu punya pilihan, ya kan???"

Diam sejenak.

"Kau yang tahu jalanmu..."

(memperingati hari kegagalanku masuk Universitas Padang Rumput Kuning "yeah, kaliah tahu kan itu apa?")

Hujan Di Suatu Pagi

0 komentar
Sudah lama aku tak bersua Hujan. Ah, aku merindukannya. Kemana saja dia selama ini? Aku tahu, sekarang ia pasti sedang ada di belahan bumi utara. Ya, ia sangat suka berkelana, menjelajahi seisi dunia. Tapi aku merindukannya, aku ingin bertemu dengannya.

"Kau ingin bertemu denganku???"

Aku dikagetkan oleh sebuah suara yang tidak lagi asing untukku. Pemilik suara itu tersenyum padaku. Aku segera menghambur ke dalam pelukannya.

"Kau ke mana saja Hujan? Mengapa pergi begitu lama?"

"Kau tahu kan? Aku mengelilingi belahan bumi utara! Di sana sangat dingin, seperti kau ada di dalam kulkas dengan suhu satu derajat."

"Benarkah?" aku bertanya, masih memeluknya.

"Hmm. Tapi gunung-gunung di sana sangat indah. Kau akan lihat banyak gunung berlapiskan salju putih di sana. Sangat indah. Sangat cocok untuk gadis sepertimu yang menyukai warna putih."

Ia diam sejenak. Aku menunggunya berbicara dengan sabar, masih di dalam pelukannya. Aku suka menghambur ke dalam pelukannya. Suka sekali. Meski ia basah, ia begitu menghangatkan.

"Kau harus ke sana suatu saat nanti, Senja."

"Baik. Kau yang ajak aku ke sana."

"Tentu. Nanti akan aku ajak kau ke sana, Senjaku..."

About me

My photo
"jika kau menerima dirimu apa adanya, maka kau akan melihat dirimu dari sisi lain yang lebih indah" (dikutip dari teenlit 'Confeito')
 

thousand smiles Design by Insight © 2009