Sambil mendengarkan Balade Pour Adaline milik Richard Clayderman, aku terpekur. Aku sembunyikan wajahku di balik kedua telapak tanganku sambil mencoba bernafas dengan nyaman. Kali ini, aku tengah memikirkan ide untuk mati. Mati saja meninggalkan dunia fana yang menyesakkan. Kalau aku boleh turutkan sisi terburuk dalam diriku, harus kuakui, hidup sangat tidak menyenangkan. Kalau seperti ini, ingin bernafas pun jadi susah. Jadi, lebih baik mati kan?
"Richard Clayderman... dia luar biasa bukan?"
Aku terperanjat. "Hujan?"
Ia tersenyum simpul. Kemudian menghampiriku, duduk di sampingku, ikut menikmati Balade Pour Adaline.
"Kau sedang apa di sini?" aku bertanya.
"Aku sedang mencarimu. Jadi sengaja aku ke sini."
"Oooh..."
"Kau kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa. Hanya sedang berpikir. Itu saja."
Ia membelai rambutku lembut. Aku menoleh ke arahnya, dan tersenyum.
"Makasih..."
Ia mengernyitkan dahi. "Buat?"
Aku memandangnya gemas, kemudian memeluknya. "Kenapa sih kamu itu sangat hangat, padahal kamu kan basah?"
"Apa?" Ia tak mengerti.
"Terimakasih karena selalu bisa menghangatkan jiwaku. Aku... aku akan pertimbangkan lagi ide tentang mati itu."
Ia melepaskan pelukanku, dan memandangku lekat-lekat. "Ayo kita pejamkan mata!"
"Eh???"
"Pejamkan mata, lalu bernafaslah. Kita lakukan itu sepuluh menit saja dalam diam, biarkan Pour Adaline meresap ke dalam diri kita. Mulai!"
Aku baru akan membuka mulut untuk protes, sebelum akhirnya ia memejamkan matanya.
"Jangan lihat aku. Pejamkan matamu..." hardiknya.
Aku pejamkan mataku, dan melakukan apa yang ia suruh. Baru tiga menit berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Aku pun menangis di sampingnya yang sedang menikmati hembusan nafasnya. Hanya menangis. Menangis pelan karena ditelan Pour Adaline. Menangis karena aku baru tahu, begitu nikmatnya bernafas.
Kamis, 08:07 a.m




